Sunday, 14 June 2015

Implementasi Kebijakan Pengembangan dan Pembinaan Guru

Betapa bagusnyapun rumusan visi dan misi, serta lengkapnyapun rumusan kandungan isi dengan pengolaborasiannya yang rinci dari suatu program pendidikan (dalam arti penyiaan dan pengembangan) keprofesian keguruan, pada akhir dan ujungnya akan tergantung kepada bagaimana kinerja cara mengimplementasikannya dalam proses dan situasi pendidikannya yang aktual. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa implementasi suatu program pengembangan profesi dan perilaku guru itu bukanlah merupakann sesuatu hal yang mudah, melainkan memerlukan penanganan yang khusus dan sungguh-sungguh.

Pengembangan profesi keguruan bukan saja hanya memerlukan dukungan program pengembangan yang bersifat luwes yang dapat memberikan peluang setian pengemban profesi guru itu menempuhnya secara luwes melalui prosedur yang bersifat multientry dan/atau lintas jalur jenis kategori bidang keahlian, juga paket-paket programnya seyogianya dikembangkan secara luwes pula sehingga memberikan dorongan yang menggairahkan kepada guru untuk melakukan upaya pengambangan keprofesiannya secara berkelanjutan dengan cara yang bervariasi.

Abin S. Makmum (1996) menguraikan bagaimana implementasi pengembangan dan pembinaan profesi guru selama ini. Berdasarkan asumsi bahwa proses penyiapan (pre-service) dan pengembangan (in-service) tenaga guru dengan segala kategorinya seyogianya digariskan sebagai suatu kesatuan yang integral. Seperti direkomendasikan oleh Konferensi Pendidikan Internasional yang diselenggarakan di Jenewa mulai 27 Agustus s/d 4 September 1974 oleh UNESCO (Goble, 1977:206).

“Pendidikan lanjutan hendaknya merupakan bagian integral dari proses pendidikan guru sehingga perlu ditata secara teratur bagi semua kategori tenaga kependidikan. Prosedur hendaknya seluwes mungkin dan dapat disesuaikan terhadap kebutuhan guru individual maupun terhadap ciri-ciri khas seyiap daerah, dengan memperhitungkan perkembangan kekhususan yang berbeda dan perluasan perkembangan ilmu pengetahuan.

Secara konseptual, kedua tahapan proses pendidikan guru tersebut pada dasarnya tidak terlepas dari tugas dan tanggung jawab LPTK. Dengan demikian, LPTK itu seyogianya mampu menjalankan peranannya baik dalam pelaksanaan fungsi pendidikan prajabatan maupun fungsi pendidikan dalam jabatan. Sebagaimana halnya direkomendasikan pula oleh UNESCO (Goble, 1977 : 206).

Fungsi lembaga pendidikan guru hendaknya tidak saja diperluas untuk memberikan pendidikan prajabatan kepada para guru, melainkan juga memberikan banyak sumbangan bagi pendidikan lanjutan mereka; dengan demikian, lembaga-lembaga tersebut hendaknya memberikan pendidikan prajabatan dan pendidikan lanjutan.

Di Indonesia, sesungguhnya gagasan UNESCO itu telah dicoba untuk diimplementasikan dalam rangka pengembangan pola pembaharuan sistem tenaga kependidikan. Pengadaan (penyiapan) tenaga kependidikan yang termasuk kategori tenaga guru TK,SD,SL dan juga sebagian PLS pada dasarnya merupakan tugas dan tanggung jawab LPTK. Terdapat kemungkinan juga pendidikan prajabatan saat itu dikonsepsikan dapat ditempuh melalui pendidikan dalan jabatan, dengan asumsi bahwa hingga saat itu masih terdapat sejumlah guru yang telah bertugas. Sedangkan aturan lain menunjukkan bahwa pada dasarnya semua jenis kategori tenaga kependidikan dari semua jenjang dan/atau tingkat kelembagaan satuan dan program pendidikan dapat menempuh program pendidikan lanjutan baik di LPMP maupun di LPTK. Dengan catatan bahwa kepada jenis dan jenjang satuan tingkat pendidikan TK itu termasuk Raudhatul Athfal, kepada SD itu mencakup Pondok Pesantren dan kepada PT mencakup IAIN dan sejenisnya, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun oleh swasta (LSM).

Khusus bagi LPTK, dalam kedudukannya sebagai lembaga pendidikan tinggi (telaah PP No. 38 Pasal 11-16 serta pasal 32) secara jelas selain mengemban tugas dharma pendidikan (menyiapkan dan mengembangkan tenaga kependidikan profesional) itu juga harus mengemban dhrama penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sebagaimana yang berlaku bagi lembaga pendidikan lainnya (non-LPTK). Dengan demikian secara akademis, LPTK-pun harus setaraf dengan lembaga pendidikan tinggi (universitas/institut) lainnya, sama halnya juga sebagai pusat pembaharuan dan pembangunan masyarakat. Dari LPTK itulah diharapkan lahirnya IPTEK dan humaniora yang relevan dengan bidang kependidikan sebagai seumber dan pendukung serta penunjang profesi kependidikan.

Dalam berbagai kesempatan terdahulu telah disinggung bahwa proses pembinaan kualitas kinerja keprofesian bukanlah merupakan hal yang bersifat tuntas (exhaustive) secara temporal (berlangsung selama proses) dan terminal (berhenti saat berakhirnya) menempuh suatu program pendidikan, melainkan terus berkelanjutan setelah dan selama terjun di dalam menjalankan praktik keprofesiannya sepanjang hayatnya asalkan selalu berupaya mengembangkan diri dan menyegarkan kinerja keprofesiannya seirama dengan tuntutan perkembangan iptek dan persyaratan standar bidang pekerjaannya.

Para pengelola sistem pendidikan secara struktural mulai dari tingkat puncaknya (nasional, pusat) sampai kepada tingkat paling bawah (birokrasi/pengurus cabang dan/atau rantingnya) baik instansi pemerintah maupun swasta, dalam posisinya sebagai penyelenggara dan bahkan sekaligus juga sebagai pemilik dari satuan-satuan dan program-program pendidikan yang bersangkutan, sudah barang tentu seyogianya memiliki tugas, peranan,, dan tanggung jawab yang sangat besar dan luas atas upaya pengembangan profesi dan perilaku tenaga kependidikan. Sebagaimana dinyatakan dalam PP No. 38 tahun 1992 pasal 29 :

Pengelola sistem pendidikan nasional bertanggung jawab atas kebijaksanaan nasional berkenaan dengan sistem pengembangan profesional tenaga kependidikan pada setiap cabang ilmu pengetahuan.

“Pemantapan pendidikan guru lanjutan (continuning and inservice education and training) yang diperlukan di semua (jenjang/tingkatan) sistem, sejak pendidikan primer (di jenjang dasar) hingga pendidikan tersier ( di jenjang perguruan tinggi) termasuk juga pendidikan tinggi bagi orang dewasa, harus didukung oleh banyak usaha pejabat yang berwenang dibidang pendidikan usaha semacam itu mencakup analisis kuantitatif mengenai pengadaan (penyiapan) dan kebutuhan guru (tenaga kependidikan) di suatu negara, dan juga pelaksanaan perencanaan nasional atau regional (wilayah/daerah) pendidikan lanjutan bagi para guru-guru (tenaga kependidikan).

Sebagaimana telah direkomendasikan oleh UNESCO (Goble, 1999: 206-207), antara lain :
Agar proses pendidikan lanjutan dapat berfungsi efektif dan dapat dinikmati guru-guru yang bertugas didaerah-daerah terpencil, penggunaan radio, televisi, dan kursus tertulis hendaknya diperluas. Perpaduan antara kursus-kursus penuh dalam jangka pendek dengan penggunaan program-program yang menggunakan banyak media, yang cukup lama, termasuk radio, televisi, dan kursus-kursus tertulis dapat memecahkan secara langsung problem pendidikan jabatan yang diikuti banyak guru.

Lieberman (1956) menunjukkan salah satu esensi dari suatu profesi itu adalah pengabdian (the service to be rendered) kepada umat manusia sesuai dengan keahliannya. Karena itu betapa pentingnya upaya pembinaan aspek kepribadian (inklusif pembinaan sikap dan nilai) sebagai sumber dan landasan tumbuh-kembangnya jiwa dan semangat pengabdian manusia termaksud. Dengan demikian, maka identitas dan jati diri seorang tenaga kependidikan yang profesional pada dasarnya akan ditandai oleh tercapainya tingkat kematangan kepribadian yang mantap dalam menampilkan kinerja profesinya yang prima dengan penuh semangat pengabdian bagi kemaslahatan umat manusia sesuai dengan bidang keahliannya.

Dalam realitasnya, pada awal kehadiran dan keterlibatan orang-orang dalam suatu profesi, termasuk bidang keguruan, pada umumnya datang dengan membawa pola dasar motivasi dan kepribadian yang bervariasi, sangat mungkin diantara mereka itu datang dengan bermotifkan ekonomis, sosial, estetis, teoritis, politis, atau religius. Kiranya sulit disangkal bahwa sesungguhnya semua motif dasar tersebut, disadari atau tidak, akan terdapat pada setiap insan. Akan tetapi, bagi pengemban profesi kependidikan yang seyogianya dipupuk dan ditumbuhkan selaras dengan tuntutan tugas bidang pekerjaannya, ialah motif sosial yang berakar pada jiwa dan semangat filantropis (mencintai dan menyayangi sesam manusia).

Itulah sebabnya, mengapa UNESCO amat merekomendasikan agar maslah pembinaan kepribadian guru itu harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam penyelenggaraan pendidikan keguruan, baik pada fase prajabatan maupun dalam jabatannya. Di dalam fase prajabatan, program pendidikan harus dikembangkan yang memungkinkan dapat terjadinya proses sosialisasi yang sehat, baik melalui kegiatan kurikuler maupun korikuler dan ekstrakurikulernya seperti “student self government activities” dan “community services “. Sudah barang tentu harus ditunjang kelengkapannya yang memadai , termasuk sistem asrama. Sedangkan dalam fase pasca pendidikan prajabatan, upaya pengembangan kepribadian dan keprofesian itu pada dasarnya akan sangat tergantung kepada sejauh mana jiwa dan semangat “self-propelling and professional growth and development” dari guru yang bersangkutan.
Dalam realitasnya, semangat dan kesadaran untuk menumbuhkembangkan diri (kepribadian) dan keprofesian itu tidak selalu terjadi dengan sendirinya (secara intrinsik), melainkan harus diciptakan iklim yang mendorong dan “memaksa” pengemban suatu profesi itu dari lingkungannya (secara ekstrinsik). Itulah sebabnya baik UUSPN No. 20 Tahun 2003 telah menjadikannya sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap guru.

Sebagai operasionalisasinya untuk mendorong dan “memaksa” guru agar melaksanakan kewajibannya itu ialah dengan memperhitungkannya sebagai salah satu komponen yang menjadi dasar kenaikan tentang jabatan fungsionalnya dengan diberikan angka kredit yang signifikan, baik ke dalam unsur pendidikannya, pengembangan profesi, maupun unsur penunjangan (SK. Menpan No. 28 Tahun 1989). Meskipun berbagai ketentuan tersebut pada dasarnya diperuntukkan bagi PNS, namun dalam praktiknya juga dijadikan pedoman bagi penentuan angka kredit dalam rangka menetapkan jenjang jabatan fungsional tenaga kependidikan dalam kerangka sistem pendidikan nasional.


Bagi guru yang datang dengan motif dasar intrinsik, sudah barang tentu upaya pengembangan dirinya dan keprofesiannya itu bukan merupakan permasalahan. Ia tinggal memilih saja alternatif mana yang diminatinya sebagaimana disarankan, secara umum, melalui : (1) pendidikan formal sesuai dengan jalur, jenjang dan jenis bidang keahliannya (jika hal itu belum ditempuh sebelumnya); (2) pendidikan non formal (sepanjang tersedia); (3) keikutsertaan dalam berbagai kegiatan penelitian, seminar, lokakarya, penulisan/publikasi, dsb. Yang relevan dengan bidang keprofesiannya; (4) belajar mandiri dengan memanfaatkan berbagai sumber dan media (cetak dan/atau elektronik) yang tersedia relevan dengan bidang keprofesiannya. Berbagai kegiatan termaksud sangat boleh jadi dilakukannya juga di lingkungan kerjanya sebagai laboratorium eksperimentasinya yang aktual, nyata, dan pragmatis untuk menunjang kualitas kinerjanya secara langsung. 

1 comment:

  1. Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting
    Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting babyliss pro nano titanium flat iron Tieting Tieting Tieting ford titanium ecosport Tieting Tieting Tieting titanium legs Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting microtouch trimmer Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting titanium max trimmer

    ReplyDelete