1.
Etika Guru
Profesional Terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Pada butir kesembilan Kode Etik Guru Indonesia
disebutkan bahwa “Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang
pendidikan”. Dengan jelas bahwa dalam kode etik tersebut diatur bahwa guru di
Indonesia harus taat akan peraturan perundang-undangan yang di buat oleh
pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasonal.
Guru merupakan aparatur negara dan abdi negara dalam
bidang pendidikan. Oleh karena itu, guru mutlak harus mengetahui
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan dan
melaksanakannya sebagaimana aturan yang berlaku. Sebagai contoh pemerintah
mengeluarkan kebijakan yaitu mengubah kurikulum dari kurikulum 1994 menjadi
kurikulum 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi dan kemudian diubah lagi
menjadi KTSP dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam kurikulum tersebut, secara eksplisit bahwa
hendaknya guru menggunakan pendekatan kontekstual dalam pembelajarannya.
Seorang guru yang profesional taat akan peraturan yang berlaku dengan cara
menerapkan kebijakan pendidikan yang baru tersebut dan akan menerima
tantangan baru tersebut, yang nantinya diharapkan akan dapat memacu
produktivitas guru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional.
2. Etika Guru Profesional Terhadap Anak Didik
Dalam Kode Etik Guru
Indonesia dengan jelas dituliskan bahwa guru berbakti membimbing peserta didik
untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa pancasila. Dalam membimbing anak
didiknya Ki Hajar Dewantara mengemukakan tiga kalimat padat yang terkenal
yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri
handayani. Dari ketiga kalimat tersebut, etika guru terhadap peserta didik
tercermin. Kalimat-kalimat tersebut mempunyai makna yang sesuai dalam konteks
ini.
Pertama, guru
hendaknya memberi contoh yang baik bagi anak didiknya. Ada pepatah Sunda yang
akrab ditelinga kita yaitu “Guru digugu dan Ditiru” (diikuti dan diteladani).
Pepatah ini harus diperhatikan oleh guru sebagai tenaga pendidik. Guru adalah
contoh nyata bagi anak didiknya. Semua tingkah laku guru hendaknya jadi
teladan. Menurut Nurzaman (2005:3), keteladanan seorang guru merupakan
perwujudan realisasi kegiatan belajr mengajar, serta menanamkan sikap
kepercayaan terhadap siswa. Seorang guru berpenampilan baik dan sopan akan
sangat mempengaruhi sikap siswa. Sebaliknya, seorang guru yang bersikap
premanisme akan berpengaruh buruk terhadap sikap dan moral siswa. Disamping
itu, dalam memberikan contoh kepada peserta didik guru harus dapat mencontohkan
bagaimana bersifat objektif, terbuka akan kritikan, dan menghargai pendapat
orang lain.
Kedua, guru harus
dapat mempengaruhi dan mengendalikan anak didiknya. Dalam hal ini, prilaku dan
pribadi guru akan menjadi instrumen ampuh untuk mengubah prilaku peserta didik.
Sekarang, guru bukanlah sebagai orang yang harus ditakuti, tetapi hendaknya
menjadi ‘teman’ bagi peserta didik tanpa menghilangkan kewibawaan sebagai
seorang guru. Dengan hal itu guru dapat mempengaruhi dan mampu mengendalikan
peserta didik.
Ketiga, hendaknya
guru menghargai potensi yang ada dalam keberagaman siswa. Bagi seorang guru,
keberagaman siswa yang dihadapinya adalah sebuah wahana layanan profesional
yang diembannya. Layanan profesional guru akan tampil dalam kemahiran memahami
keberagaman potensi dan perkembangan peserta didik, kemahiran mengintervensi
perkembangan peserta didik dan kemahiran mengakses perkembangan peserta didik
(Kartadinata, 2004:4).
Semua kemahiran
tersebut perlu dipelajari dengan sungguh-sungguh dan sistematis, secara akademik,
tidak bisa secara alamiah, dan semua harus terinternalisasi dan teraktualisasi
dalam perilaku mendidik.
Sementara itu,
prinsip manusia seutuhnya dalam kode etik ini memandang manusia sebagai
kesatuan yang bulat, utuh, baik jasmani maupun rohani. Peserta didik tidak
hanya dituntut berlimu pengetahuan tinggi, tetapi harus bermoral tinggi juga.
Guru dalam mendidik seharusnya tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau
perkembangan intelektual saja, tetapi juga harus memperhatikan perkembangan
pribadi peserta didik, baik jasmani, rohani, sosial maupun yang lainnya yang
sesuai dengan hakikat pendidikan. Ini dimaksudkan agar peserta didik pada
akhirnya akan dapat menjadi manusia yang mampu menghadapi tantangan-tantangan
di masa depan. Peserta didik tidak dapat dipandang sebagai objek semata yang
harus patuh pada kehendak dan kemauan guru.
3. Etika Guru Profesional terhadap pekerjaan
Pekerjaan guru adalah
pekerjaan yang mulia. Sebagai seorang yang profesional , guru harus melayani
masyarakat dalam bidang pendidikan dengan profesional juga. Agar dapat
memberikan layanan yang memuaskan masyarakat, guru harus dapat menyesuaikan
kemampuan dan pengetahuannya dengan keinginan dan permintaan masyarakat.
Keinginan dan permintaan ini selalu berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakat yang biasanya dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh
sebab itu, guru selalu dituntut untuk secara terus menerus meningkatkan dan
mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan mutu layanannya. Keharusan
meningkatkan dan mengembangkan mutu ini merupakan butir keenam dalam Kode Etik
Guru Indonesia yang berbunyi “Guru secara pribadi dan bersama-sama
mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya”.
Secara profesional,
guru tidak boleh dilanda wabah completism, merasa diri sudah
sempurna dengan ilmu yang dimilikinya, melainkan harus belajar terus menerus
(Kartadinata, 2004:1). Bagi seorang guru, belajar terus menerus adalah hal yang
mutlak. Hal ini karena yang dihadapi adalah peserta didik yang sedang berkembang
dengan segala dinamikanya yang memerlukan pemahaman dan kearifan dalam
bertindak dan menanganinya.
Untuk meningkatkan
mutu profesinya, menurut Soejipto dan kosasi ada dua cara yaitu cara formal dan
cara informal. Secara formal artinya guru mengikuti pendidikan lanjutan dan
mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau kegiatan ilmiah lainnya. Secara
informal dapat dilakukan melalui televisi, radio, koran, dan sebagainya.
4. Etika Guru Profesional Terhadap Tempat kerja
Sudah diketahui
bersama bahwa suasana yang baik ditempat kerja akan meningkatkan produktivitas.
Ketidakoptimalan kinerja guru antara lain disebabkan oleh lingkungan kerja yang
tidak menjamin pemenuhan tugas dan kewajiban guru secara optimal.
Dalam UU No. 20/2003
pasal 1 bahwa pemerintah berkewajiban menyiapkan lingkungan dan fasilitas
sekolah yang memadai secara merata dan bermutu diseluruh jenjang pendidikan.
Jika ini terpenuhi, guru yang profesional harus mampu memanfaatkan fasilitas
yang ada dalam rangka terwujudnya manusia seutuhnya sesuai dengan Visi
Pendidikan Nasional.
Disisi lain, jika
kita dihadapkan dengan tempat kerja yang tidak mempunyai fasilitas yang memadai
bahkan buku pelajaran saja sangat minim. Bagaimana sikap kita sebagai seorang
guru? Ternyata, keprofesionalan guru sangat diuji disini. Tanpa fasilitas yang
memadai guru dituntut untuk tetap profesional dalam membimbing anak didik.
Kreatifitas guru harus dikembangkan dalam situasi seperti ini.
Berkaitan dengan ini,
pendekatan pembelajaran kontekstual dapat menjadi pemikiran para guru untuk
lebih kreatif. Dalam pendekatan ini, diartikan strategi belajar yang membantu
guru mengaitkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya drngan penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, sikap
profesional guru terhadap tempat kerja juga dengan cara menciptakan hubungan
harmonis di lingkungan tempat kerja, baik di lingkungan sekolah, masyarakat
maupun dengan orang tua peserta didik.