1. Konsultasi
Ketika menghadapi
masalah dari sisi perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan
ketenagakerjaan, dan perlindungan HaKI, guru dapat berkonsultasi kepada
pihak-pihak yang kompeten. Konsultasi itu dapat dilakukan kepada konsultan
hukum, penegak hukum, atau pihak-pihak lain yang dapat membantu menyelesaikan
persoalan yang dihadapi oleh guru tersebut.
Konsultasi merupakan
tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan
klien, dengan pihak lain yang merupakan konsultan, yang memberikan pendapatnya
kepada klien untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya. Konsultan hanya
bersifat memberikan pendapat hukum, sebagaimana diminta oleh kliennya.
Keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh
para pihak meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk
merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak
yang bersengketa tersebut. Danim (2012: 61)
Misalnya, seorang guru
berkonsultasi dengan pengacara pada salah satu LKBH, penegak hukum, orang yang
ahli, penasehat hukum, dan sebagainya berkaitan dengan masalah pembayaran gaji
yang tidak layak, keterlambatan pembayaran gaji, pemutusan hubungan kerja
secara sepihak, dan lain-lain. Pihak-pihak yang dimintai pendapat oleh guru
ketika berkonsultasi tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan keputusan,
melainkan sebatas memberi pendapat atau saran, termasuk saran-saran atas
bentuk-bentuk penyelesaian sengketa atau perselisihan. Danim ( 2012 : 62)
2. Mediasi
Mediasi adalah upaya penyelesaian konflik
dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan
mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai
penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak. (http://id.wikipedia.org/wiki/Mediasi)
Ketika menghadapi
masalah dari sisi perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan
ketenagakerjaan, dan perlindungan HaKI dalam hubungannya dengan pihak lain,
seperti munculnya sengketa antara guru dengan penyelenggara atau satuan pendidikan,
pihak-pihak lain yang dimintai bantuan oleh guru seharusnya dapat membantu
memediasinya.
Merujuk pada Pasal 6
ayat 3 Undang Undang Nomor 39 tahun 1999, atas kesepakatan tertulis para pihak,
sengketa atau perbedaan pendapat antara guru dengan penyelenggara/satuan
pendidikan dapat diselesaikan melalui bantuan “seorang atau lebih penasehat
ahli” maupun melalui seorang mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau
perbedaan pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak
untuk dilaksanakan dengan iktikad baik. Kesepakatan tertulis antara guru dengan
penyelenggara/satuan pendidikan wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan
wajib dilakasanakan dalam waktu lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
Mediator dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) mediator yang ditunjuk secara
bersama oleh para pihak, dan mediator yang ditujuk oleh lembaga arbitrase atau
lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak. Danim (2012
: 62)
3. Negosiasi
dan Perdamaian
Negosiasi adalah sebuah
bentuk interaksi sosial saat pihak - pihak yang terlibat berusaha untuk saling
menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Menurut kamus Oxford,
negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi
formal. (http://id.wikipedia.org/wiki/Negosiasi)
Ketika menghadapi
masalah dari sisi perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan ketenagakerjaan,
dan perlindungan HAKI dalam hubungannya dengan pihak lain, seperti munculnya
sengketa antara guru dengan penyelenggara atau satuan pendidikan, penyelenggara
satuan pendidikan harus membuka peluang negosiasi kepada guru atau kelompok
guru.
Menurut Pasal 6 ayat 2
Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, pada dasarnya para pihak, dalam hal ini
penyelenggara/satuan pendidikan dan guru, berhak untuk menyelesaikan sendiri
sengket yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian
tersebut selanjutnya dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui para
pihak. Negosiasi mirip dengan perdamaian yang diatur dalam Pasal 1851 sampai
dengan Pasal 1864 KUH Perdata, dimana perdamaian itu adalah suatu persetujuan
dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan
suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah
timbulnya suatu perkara. Persetujuan harus dibuat secara tertulis dan tidak di
bawah ancaman.
Namun demikian, dalam
hal ini ada beberapa hal yang membedakan antara negosiasi dan perdamaian. Pada
negosiasi diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan
penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung
oleh dan di antara para pihak yang bersengketa. Perbedaan lain adalah bahwa
negosiasi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang
dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik
sebelum proses persidangan maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan.
Pelaksanaan perdamaian bisa di dalam atau di luar pengadilan. Danim (2012: 62)
4. Konsiliasi
dan perdamaian
Konsiliasi yaitu usaha
untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai
persetujuan bersama.
Ketika menghadapi
masalah dari sisi perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan
ketenagakerjaan, dan perlindungan HaKI dalam hubungannya dengan pihak lain,
seperti munculnya sengketa antara guru dengan penyelenggara atau satuan
pendidikan, penyelenggara/satuan pendidikan harus membuka peluang konsiliasi
atau perdamaian.
Seperti pranata
alternatif penyelesaian sengketa yang telah diuraikan di atas, konsiliasi pun
tidak dirumuskan secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999.
Konsiliasi atau perdamaian merupakan suatu bentuk alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan atau suatu tindakan atau proses untuk mencapai
perdamaian di luar pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakan proses litigasi,
dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berjalan, baik di dalam maupun di
luar pengadilan, konsiliasi atau perdamaian tetap dapat dilakukan, dengan
pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah diperoleh suatu putusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Danim ( 2012 : 63)
5. Advokasi
Litigasi
Advokasi Litigasi
adalah salah satu bentuk advokasi hukum yang dilakukan melalui proses
pengadilan, bahkan sebelum kasus atau satu perkara di sidangkan ke pengadilan,
pendampingan klien atas pemeriksaan atau penyidikan di tingkat kepolisian, serta
proses penuntutan di tingkat kejaksaan dapat juga dikatagorikan sebagai bentuk
litigasi.
Ketika menghadapi
masalah dari sisi perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan ketenagakerjaan,
dan perlindungan HAKI dalam hubungannya dengan pihak lain, misalnya ketika
terjadi sengketa antara guru dengan penyelenggara atau satuan pendidikan,
berbagai pihak yang dimintai bantuan atau pembelaan oleh guru seharusnya dapat
memberikan advokasi litigasi.
Banyak guru masih
menganggap bahwa advokasi litigasi merupakan pekerjaan pembelaan hukum
(litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan pekerjaan yang
berkaitan dengan praktik beracara di pengadilan. Pandangan ini kemudian
melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang disebut sebagai advokasi.
Seolah-olah, advokasi litigasi merupakan urusan sekaligus monopoli dari
organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktik hukum semata.
Pandangan semacam itu
tidak selamanya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Mungkin pengertian
advokasi menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat dari padanan kata
advokasi itu dalam bahasa Belanda, yakni advocaat yang tak lain berarti
pengacara hukum atau pembela. Namun kalau kita mau mengacu pada kata advocate
dalam pengertian bahasa Inggris, maka pengertian advokasi akan menjadi lebih
luas. Advocate bisa berarti menganjurkan, memajukan (to promote), menyokong
atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi juga bisa diartikan melakukan
‘perubahan’ secara terorganisir dan sistematis. Danim (2012: 63)
6. Advokasi
Nonlitigasi
Di samping melalui
litigasi, juga dikenal alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
lazim disebut non litigasi. Alternatif penyelesaian sengketa non litigasi
adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri. Perbedaaan
dengan yang advokasi litigasi adalah advokasi ligitasi yaitu segala bentuk
advokasi dalam acara persidangan di pengadilan, sedang advokasi non ligitasi
yaitu segala bentuk advokasi di luar acara persidangan di pengadilan.
Ketika menghadapi
masalah dari sisi perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan ketenagakerjaan,
dan perlindungan HAKI dalam hubungannya dengan pihak lain, misalnya ketika
terjadi sengketa antara guru dengan penyelenggara atau satuan pendidikan,
pelbagai pihak yang dimintai bantuan atau pembelaan oleh guru seharusnya dapat
memberikan advokasi nonlitigasi.
Dengan demikian, disamping melalui
litigasi, juga dikenal alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
lazim disebut nonlitigasi. Alternatif penyelesaian sengketa nonlitigasi adalah
suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara
mengenyampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Dewasa
ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup
tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hukum. Peran dan fungsi peradilan,
dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang
waktu (waste of time), biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap
(unresponsive) terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlalu formalistis
(formalistic) dan terlampau teknis (technically). Dalam Pasal (1) angka (10)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, disebutkan bahwa masyarakat dimungkinkan
memakai alternatif lain dalam melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut
dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli. Danim (2012: 63-64)