Betapa
bagusnyapun rumusan visi dan misi, serta lengkapnyapun rumusan kandungan isi
dengan pengolaborasiannya yang rinci dari suatu program pendidikan (dalam arti
penyiaan dan pengembangan) keprofesian keguruan, pada akhir dan ujungnya akan
tergantung kepada bagaimana kinerja cara mengimplementasikannya dalam proses
dan situasi pendidikannya yang aktual. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa
implementasi suatu program pengembangan profesi dan perilaku guru itu bukanlah
merupakann sesuatu hal yang mudah, melainkan memerlukan penanganan yang khusus
dan sungguh-sungguh.
Pengembangan
profesi keguruan bukan saja hanya memerlukan dukungan program pengembangan yang
bersifat luwes yang dapat memberikan peluang setian pengemban profesi guru itu
menempuhnya secara luwes melalui prosedur yang bersifat multientry dan/atau lintas jalur jenis kategori bidang keahlian,
juga paket-paket programnya seyogianya dikembangkan secara luwes pula sehingga
memberikan dorongan yang menggairahkan kepada guru untuk melakukan upaya pengambangan
keprofesiannya secara berkelanjutan dengan cara yang bervariasi.
Abin
S. Makmum (1996) menguraikan bagaimana implementasi pengembangan dan pembinaan
profesi guru selama ini. Berdasarkan asumsi bahwa proses penyiapan (pre-service) dan pengembangan
(in-service) tenaga guru dengan segala kategorinya seyogianya digariskan
sebagai suatu kesatuan yang integral. Seperti direkomendasikan oleh Konferensi
Pendidikan Internasional yang diselenggarakan di Jenewa mulai 27 Agustus s/d 4
September 1974 oleh UNESCO (Goble, 1977:206).
“Pendidikan
lanjutan hendaknya merupakan bagian integral dari proses pendidikan guru
sehingga perlu ditata secara teratur bagi semua kategori tenaga kependidikan.
Prosedur hendaknya seluwes mungkin dan dapat disesuaikan terhadap kebutuhan
guru individual maupun terhadap ciri-ciri khas seyiap daerah, dengan
memperhitungkan perkembangan kekhususan yang berbeda dan perluasan perkembangan
ilmu pengetahuan.
Secara
konseptual, kedua tahapan proses pendidikan guru tersebut pada dasarnya tidak
terlepas dari tugas dan tanggung jawab LPTK. Dengan demikian, LPTK itu
seyogianya mampu menjalankan peranannya baik dalam pelaksanaan fungsi
pendidikan prajabatan maupun fungsi pendidikan dalam jabatan. Sebagaimana
halnya direkomendasikan pula oleh UNESCO (Goble, 1977 : 206).
Fungsi
lembaga pendidikan guru hendaknya tidak saja diperluas untuk memberikan
pendidikan prajabatan kepada para guru, melainkan juga memberikan banyak
sumbangan bagi pendidikan lanjutan mereka; dengan demikian, lembaga-lembaga
tersebut hendaknya memberikan pendidikan prajabatan dan pendidikan lanjutan.”
Di
Indonesia, sesungguhnya gagasan UNESCO itu telah dicoba untuk diimplementasikan
dalam rangka pengembangan pola pembaharuan sistem tenaga kependidikan. Pengadaan
(penyiapan) tenaga kependidikan yang termasuk kategori tenaga guru TK,SD,SL dan
juga sebagian PLS pada dasarnya merupakan tugas dan tanggung jawab LPTK.
Terdapat kemungkinan juga pendidikan prajabatan saat itu dikonsepsikan dapat
ditempuh melalui pendidikan dalan jabatan, dengan asumsi bahwa hingga saat itu
masih terdapat sejumlah guru yang telah bertugas. Sedangkan aturan lain
menunjukkan bahwa pada dasarnya semua jenis kategori tenaga kependidikan dari
semua jenjang dan/atau tingkat kelembagaan satuan dan program pendidikan dapat
menempuh program pendidikan lanjutan baik di LPMP maupun di LPTK. Dengan
catatan bahwa kepada jenis dan jenjang satuan tingkat pendidikan TK itu
termasuk Raudhatul Athfal, kepada SD itu mencakup Pondok Pesantren dan kepada PT
mencakup IAIN dan sejenisnya, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah
(negeri) maupun oleh swasta (LSM).
Khusus
bagi LPTK, dalam kedudukannya sebagai lembaga pendidikan tinggi (telaah PP No.
38 Pasal 11-16 serta pasal 32) secara jelas selain mengemban tugas dharma
pendidikan (menyiapkan dan mengembangkan tenaga kependidikan profesional) itu
juga harus mengemban dhrama penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
sebagaimana yang berlaku bagi lembaga pendidikan lainnya (non-LPTK). Dengan
demikian secara akademis, LPTK-pun harus setaraf dengan lembaga pendidikan
tinggi (universitas/institut) lainnya, sama halnya juga sebagai pusat
pembaharuan dan pembangunan masyarakat. Dari LPTK itulah diharapkan lahirnya
IPTEK dan humaniora yang relevan dengan bidang kependidikan sebagai seumber dan
pendukung serta penunjang profesi kependidikan.
Dalam
berbagai kesempatan terdahulu telah disinggung bahwa proses pembinaan kualitas
kinerja keprofesian bukanlah merupakan hal yang bersifat tuntas (exhaustive) secara temporal (berlangsung selama
proses) dan terminal (berhenti saat berakhirnya) menempuh suatu program
pendidikan, melainkan terus berkelanjutan setelah dan selama terjun di dalam
menjalankan praktik keprofesiannya sepanjang hayatnya asalkan selalu berupaya mengembangkan
diri dan menyegarkan kinerja keprofesiannya seirama dengan tuntutan
perkembangan iptek dan persyaratan standar bidang pekerjaannya.
Para
pengelola sistem pendidikan secara struktural mulai dari tingkat puncaknya
(nasional, pusat) sampai kepada tingkat paling bawah (birokrasi/pengurus cabang
dan/atau rantingnya) baik instansi pemerintah maupun swasta, dalam posisinya
sebagai penyelenggara dan bahkan sekaligus juga sebagai pemilik dari
satuan-satuan dan program-program pendidikan yang bersangkutan, sudah barang
tentu seyogianya memiliki tugas, peranan,, dan tanggung jawab yang sangat besar
dan luas atas upaya pengembangan profesi dan perilaku tenaga kependidikan.
Sebagaimana dinyatakan dalam PP No. 38 tahun 1992 pasal 29 :
Pengelola
sistem pendidikan nasional bertanggung jawab atas kebijaksanaan nasional
berkenaan dengan sistem pengembangan profesional tenaga kependidikan pada
setiap cabang ilmu pengetahuan.
“Pemantapan
pendidikan guru lanjutan (continuning and
inservice education and training) yang diperlukan di semua
(jenjang/tingkatan) sistem, sejak pendidikan primer (di jenjang dasar) hingga
pendidikan tersier ( di jenjang perguruan tinggi) termasuk juga pendidikan
tinggi bagi orang dewasa, harus didukung oleh banyak usaha pejabat yang berwenang
dibidang pendidikan usaha semacam itu mencakup analisis kuantitatif mengenai
pengadaan (penyiapan) dan kebutuhan guru (tenaga kependidikan) di suatu negara,
dan juga pelaksanaan perencanaan nasional atau regional (wilayah/daerah)
pendidikan lanjutan bagi para guru-guru (tenaga kependidikan).
Sebagaimana
telah direkomendasikan oleh UNESCO (Goble, 1999: 206-207), antara lain :
Agar
proses pendidikan lanjutan dapat berfungsi efektif dan dapat dinikmati
guru-guru yang bertugas didaerah-daerah terpencil, penggunaan radio, televisi,
dan kursus tertulis hendaknya diperluas. Perpaduan antara kursus-kursus penuh
dalam jangka pendek dengan penggunaan program-program yang menggunakan banyak
media, yang cukup lama, termasuk radio, televisi, dan kursus-kursus tertulis
dapat memecahkan secara langsung problem pendidikan jabatan yang diikuti banyak
guru.
Lieberman
(1956) menunjukkan salah satu esensi dari suatu profesi itu adalah pengabdian (the service to be rendered) kepada umat
manusia sesuai dengan keahliannya. Karena itu betapa pentingnya upaya pembinaan
aspek kepribadian (inklusif pembinaan sikap dan nilai) sebagai sumber dan
landasan tumbuh-kembangnya jiwa dan semangat pengabdian manusia termaksud.
Dengan demikian, maka identitas dan jati diri seorang tenaga kependidikan yang
profesional pada dasarnya akan ditandai oleh tercapainya tingkat kematangan
kepribadian yang mantap dalam menampilkan kinerja profesinya yang prima dengan
penuh semangat pengabdian bagi kemaslahatan umat manusia sesuai dengan bidang
keahliannya.
Dalam
realitasnya, pada awal kehadiran dan keterlibatan orang-orang dalam suatu
profesi, termasuk bidang keguruan, pada umumnya datang dengan membawa pola
dasar motivasi dan kepribadian yang bervariasi, sangat mungkin diantara mereka
itu datang dengan bermotifkan ekonomis, sosial, estetis, teoritis, politis,
atau religius. Kiranya sulit disangkal bahwa sesungguhnya semua motif dasar
tersebut, disadari atau tidak, akan terdapat pada setiap insan. Akan tetapi,
bagi pengemban profesi kependidikan yang seyogianya dipupuk dan ditumbuhkan
selaras dengan tuntutan tugas bidang pekerjaannya, ialah motif sosial yang
berakar pada jiwa dan semangat filantropis (mencintai dan menyayangi sesam
manusia).
Itulah
sebabnya, mengapa UNESCO amat merekomendasikan agar maslah pembinaan kepribadian guru itu harus mendapat perhatian
yang sungguh-sungguh dalam penyelenggaraan pendidikan keguruan, baik pada fase
prajabatan maupun dalam jabatannya. Di dalam fase prajabatan, program
pendidikan harus dikembangkan yang memungkinkan dapat terjadinya proses
sosialisasi yang sehat, baik melalui kegiatan kurikuler maupun korikuler dan
ekstrakurikulernya seperti “student self
government activities” dan “community
services “. Sudah barang tentu harus ditunjang kelengkapannya yang memadai
, termasuk sistem asrama. Sedangkan dalam fase pasca pendidikan prajabatan,
upaya pengembangan kepribadian dan keprofesian itu pada dasarnya akan sangat
tergantung kepada sejauh mana jiwa dan semangat “self-propelling and professional growth and development” dari guru
yang bersangkutan.
Dalam
realitasnya, semangat dan kesadaran untuk menumbuhkembangkan diri (kepribadian) dan keprofesian itu tidak selalu
terjadi dengan sendirinya (secara intrinsik), melainkan harus diciptakan iklim
yang mendorong dan “memaksa” pengemban suatu profesi itu dari lingkungannya
(secara ekstrinsik). Itulah sebabnya baik UUSPN No. 20 Tahun 2003 telah
menjadikannya sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap guru.
Sebagai
operasionalisasinya untuk mendorong dan “memaksa” guru agar melaksanakan
kewajibannya itu ialah dengan memperhitungkannya sebagai salah satu komponen
yang menjadi dasar kenaikan tentang jabatan fungsionalnya dengan diberikan
angka kredit yang signifikan, baik ke dalam unsur pendidikannya, pengembangan
profesi, maupun unsur penunjangan (SK. Menpan No. 28 Tahun 1989). Meskipun
berbagai ketentuan tersebut pada dasarnya diperuntukkan bagi PNS, namun dalam
praktiknya juga dijadikan pedoman bagi penentuan angka kredit dalam rangka
menetapkan jenjang jabatan fungsional tenaga kependidikan dalam kerangka sistem
pendidikan nasional.
Bagi
guru yang datang dengan motif dasar intrinsik, sudah barang tentu upaya
pengembangan dirinya dan keprofesiannya itu bukan merupakan permasalahan. Ia
tinggal memilih saja alternatif mana yang diminatinya sebagaimana disarankan,
secara umum, melalui : (1) pendidikan formal sesuai dengan jalur, jenjang dan
jenis bidang keahliannya (jika hal itu belum ditempuh sebelumnya); (2)
pendidikan non formal (sepanjang tersedia); (3) keikutsertaan dalam berbagai
kegiatan penelitian, seminar, lokakarya, penulisan/publikasi, dsb. Yang relevan
dengan bidang keprofesiannya; (4) belajar mandiri dengan memanfaatkan berbagai
sumber dan media (cetak dan/atau elektronik) yang tersedia relevan dengan
bidang keprofesiannya. Berbagai kegiatan termaksud sangat boleh jadi
dilakukannya juga di lingkungan kerjanya sebagai laboratorium eksperimentasinya
yang aktual, nyata, dan pragmatis untuk menunjang kualitas kinerjanya secara
langsung.
1 comments:
Write commentsTieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting
ReplyTieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting babyliss pro nano titanium flat iron Tieting Tieting Tieting ford titanium ecosport Tieting Tieting Tieting titanium legs Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting microtouch trimmer Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting Tieting titanium max trimmer